Liputan6.com, Indramayu: Dalam khasanah kesenian
Indonesia dikenal banyak jenis wayang. Namun kini, hanya beberapa jenis
yang masih diminati masyarakat luas. Antara lain, wayang golek, wayang
orang (wong), dan wayang kulit. Sedangkan seni wayang lainnya
telah lama ditinggalkan peminat seiring perkembangan zaman. Wayang
cepak, satu di antaranya. Pertunjukan seni wayang asli Cirebon, Jawa
Barat, ini sudah sangat sulit ditemukan. Padahal, pada era 1970 hingga
80-an, pemangku hajat masih berani mengandalkan wayang cepak sebagai
hiburan yang bisa meramaikan suasana pesta. "Pada tahun 70 sampai 1980
bisa 125 kali dalam setahun. Tahun silam hanya sampai 25 kali," ungkap
Warsad Darya, seorang dalang yang masih menekuni wayang cepak di Desa
Gadingan, Sliwet, Jabar, baru-baru ini.
Dengan Sangar Warsad-nya, lelaki ini mencoba mempertahankan seni wayang
cepak. Kemahiran Warsad memainkan boneka kayu diperoleh secara otodidak.
Kendati mengaku tak memiliki guru atau membaca buku cerita wayang,
Warsad kini menguasai lebih dari 100 drama kisah wayang. Selama 36 tahun
mendalang, Warsad lebih banyak berimprovisasi. Karir dalang Warsad
dimulai saat berusia 24 tahun. Namun kini Warsad mengaku, harus
melengkapi kelompok wayangnya dengan instrumen modern lain apabila ingin
bertahan. Menurut Warsad, wayang cepak mulai tergeser karena banyak
pengaruh. Tapi yang pasti, kata Warsad, wayang cepak tersingkir karena
tersaingi oleh kesenian lain, seperti sandiwara. "Kalo golek cepak ini ceritanya kan
dongeng legenda, sejarah Jawa, yang dimainkan seorang dalang. Kalo
sandiwara main sendiri-sendiri. Jadi saya ketinggalan. Padahal waktu
tahun 70-an paling sedikit empat desa saya tampil," Warsad mengenang
kejayaannya.
Wayang cepak atau pak-pak ini diperkirakan sudah berumur sekitar 700
tahun. Di masa Wali Songo, wayang cepak dijadikan sebagai media
menyebarkan ajaran Islam. Karenanya, tokoh-tokoh seperti Sunan Gunung
Jati dan Kali Jaga menjadi bagian wayang cepak. Dari sisi penceritaan,
seni wayang cepak berbeda dengan wayang purwa (orang) yang hanya
berbasis mitos Mahabharata. Wayang pak-pak
menampilkan babak atau sejarah berbagai kerajaan di Pulau Jawa, termasuk
asal muasal sejumlah tempat di Jabar. Tokoh Lamsijan adalah nama lain
dari Cepot dalam wayang purwa yang menjadi perwakilan Kelompok Punakawan
Amarta.
Ketika wayang cepak terus tersingkirkan, konsep penceritaan di panggung
pun tak sepenuhnya menjadi milik dalang. Sang tuan rumah pemangku hajat
bebas menentukan cerita dan ki dalang harus siap menyajikannya. Seperti
saat Warsad diminta pemangku hajat melakonkan babak Kerajaan Galuh di
masa kebesaran kerajaan di Jawa. Namun pentas wayang cepak tak selalu
mulus. Cerita babak sejarah Warsad tak mengalir lancar karena sejumlah
penonton, khususnya kalangan muda meminta dilantunkan beberapa nomor
lagu khas Cirebon atau Cirebonan. Akibatnya, Warsad pun terpaksa harus
memenggal cerita.
Permintaan demi permintaan terus disampaikan penonton, sehingga
tokoh-tokoh wayang cepak dari Sunan Gunung Jati hingga para bupati-nya
hanya terdiam di atas bantalan batang pisang. Sementara sinden memenuhi
lagu permintaan para tamu, Warsad pun menjadi penonton. Pergeseran
keinginan penonton ini diantisipasi kelompok wayang cepak dengan
menyediakan instrumen modern, semacam drum. Alhasil, ketika
sebuah lagu dinyanyikan, nuansa tradisional pun ikut terpinggirkan. "Di
saat saya sedang bercerita, anak muda kirim surat minta lagu. Saya
terpaksa harus melayani karena kalau tak dilayani, anak mudanya emosi.
Jadi golek ini diem aja kan?," kata Warsad.
Warsad Darya belum bisa menebak hingga kapan dia situasi itu akan
berlangsung. Namun ia juga menyadari bahwa seorang seniman wayang bisa
bertahan sekadarnya. Di luar Warsad, jumlah dalang di Indramayu dan
Cirebon bisa dihitung dengan jari. Itu pun dengan catatan memiliki jenis
kesenian lain. Bila Warsad masih bertahan dengan wayang cepak dan
Lamsijannya tentu karena kecintaannya sebagai seorang
seniman.(DEN/Syaiful Halim dan Satya Pandia)
;
sumber:http://news.liputan6.com/read/54601/warsad-darya-seniman-wayang-cepak-dari-indramayu